PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DENGAN RIWAYAT DALAM QURAN-BIBEL: PENCIPTAAN LANGIT-LANGIT DAN BUMI - Berbeda dengan Perjanjian Lama, Qur-an tidak menyajikan suatu riwayat yang menyeluruh tentang penciptaan. Sebagai ganti suatu riwayat yang sambung menyambung, kita dapatkan di beberapa tempat dalam Qur-an ayat-ayat yang menunjukkan aspek-aspek tertentu daripada penciptaan dan memberi sedikit banyak perincian mengenai kejadian-kejadian yang menunjukkannya secara berturut-turut. Untuk mempunyai gambaran yang jelas tentang bagaimana kejadian-kejadian itu disajikan, kita harus mengumpulkan bagian-bagian yang terpisah-pisah dalam beberapa surat.
Menyebutkan sesuatu kejadian dalam beberapa tempat dalam Qur-an tidak hanya khusus mengenai penciptaan. Banyak soal-soal penting juga dilakukan semacam itu, baik mengenaikejadian-kejadian di bumi atau di langit atau mengenai soal-soal tentang manusia yang sangat penting bagi ahli Sains. Bagi tiap-tiap kejadian tersebut, telah diadakan suatu pengumpulan ayat-ayat.
Bagi banyak pengarang Eropa, riwayat Qur-an tentang penciptaan sangat mirip dengan riwayat Bibel, dan merekasenang untuk menunjukkan dua riwayat tersebut secara paralel. Saya merasa bahwa ide semacam itu salah, karena terdapat perbedaan-perbedaan yang nyata antara dua riwayat. Dalam soal-soal yang penting dari segi ilmiah, kita dapatkandalam Qur-an keterangan-keterangan yang tak dapat kita jumpai dalam Bibel. Dan Bibel memuat perkembangan-perkembangan yang tak ada bandingannya dalam Qur-an.
Persamaan yang semu antara dua teks sangat terkenal; di antaranya angka-angka yang berurut tentang penciptaan, pada permulaannya nampak identik; enam hari dalam Qur-an sama dengan enam hari dalam Bibel. Tetapi pada hakekatnya, persoalannya adalah lebih kompleks dan perlu diselidiki
ENAM PERIODE DARIPADA PENCIPTAAN
Riwayat Bibel9 menyebutkan secara tegas bahwa penciptaan alam itu terjadi selama enam hari dan diakhiri dengan hari
istirahat, yaitu hari Sabtu, seperti hari-hari dalam satu minggu. Kita telah mengetahui bahwa cara meriwayatkan seperti ini telah dilakukan oleh para pendeta pada abad keenam sebelum Masehi, dan dimaksudkan untuk menganjurkan
mempraktekkan istirahat hari Sabtu; tiap orang Yahudi harus istirahat pada hari Sabtu sebagaimana yang dilakukan oleh Tuhan setelah bekerja selama enam hari.
Jika kita mengikuti faham Bibel, kata “hari” berarti masa antara dua terbitnya matahari berturut-turut atau dua terbenamnya matahan berturut-turut. Hari yang difahami secara ini ada hubungannya dengan peredaran Bumi sekitar
dirinya sendiri. Sudah terang bahwa menurut logika orangtidak dapat memakai kata “hari” dalam arti tersebut di atas
pada waktu mekanisme yang menyebabkan munculnya hari, yakniadanya Bumi serta beredarnya sekitar matahari, belum
terciptakan pada tahap-tahap pertama daripada Penciptaan menurut riwayat Bibel; ketidak mungkinan hal ini telah kita
bicarakan dalam bagian pertama daripada buku ini.
Jika kita menyelidiki kebanyakan terjemahan Qur-an, kitadapatkan, seperti yang dikatakan oleh Bibel, bahwa bagi
wahyu Islam, proses penciptaan berlangsung dalam waktu enam hari. Kita tidak dapat menyalahkan penterjemah-penterjemah Qur-an karena mereka memberi arti “hari” dengan arti yang sangat lumrah.
Kita dapatkan terjemahan Surat 7 (A’raf) ayat 54:
[Tulisan Arab] Artinya: “Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.”
Riwayat Bibel9 menyebutkan secara tegas bahwa penciptaan alam itu terjadi selama enam hari dan diakhiri dengan hari
istirahat, yaitu hari Sabtu, seperti hari-hari dalam satu minggu. Kita telah mengetahui bahwa cara meriwayatkan seperti ini telah dilakukan oleh para pendeta pada abad keenam sebelum Masehi, dan dimaksudkan untuk menganjurkan
mempraktekkan istirahat hari Sabtu; tiap orang Yahudi harus istirahat pada hari Sabtu sebagaimana yang dilakukan oleh Tuhan setelah bekerja selama enam hari.
Jika kita mengikuti faham Bibel, kata “hari” berarti masa antara dua terbitnya matahari berturut-turut atau dua terbenamnya matahan berturut-turut. Hari yang difahami secara ini ada hubungannya dengan peredaran Bumi sekitar
dirinya sendiri. Sudah terang bahwa menurut logika orangtidak dapat memakai kata “hari” dalam arti tersebut di atas
pada waktu mekanisme yang menyebabkan munculnya hari, yakniadanya Bumi serta beredarnya sekitar matahari, belum
terciptakan pada tahap-tahap pertama daripada Penciptaan menurut riwayat Bibel; ketidak mungkinan hal ini telah kita
bicarakan dalam bagian pertama daripada buku ini.
Jika kita menyelidiki kebanyakan terjemahan Qur-an, kitadapatkan, seperti yang dikatakan oleh Bibel, bahwa bagi
wahyu Islam, proses penciptaan berlangsung dalam waktu enam hari. Kita tidak dapat menyalahkan penterjemah-penterjemah Qur-an karena mereka memberi arti “hari” dengan arti yang sangat lumrah.
Kita dapatkan terjemahan Surat 7 (A’raf) ayat 54:
[Tulisan Arab] Artinya: “Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.”
Sedikit jumlah terjemahan atau tafsir Qur-an yangmengingatkan bahwa kata “hari” harus difahami sebagai “periode.”
Ada orang yang mengatakan leahwa teks Qur-an tentangpenciptaan alam membagi tahap-tahap penciptaan itu dalam
“hari-hari” dengan sengaja dengan maksud agar semua orang menerima hal-hal yang dipercayai oleh orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristen pada permulaan lahirnya Islam dan agarsoal penciptaan tersebut tidak bentrok dengan keyakinan yang sangat tersiar luas.
Dengan tidak menolak cara interpretasi seperti tersebut, apakah kita tidak dapat menyelidiki lebih dekat dan menelitiarti yang mungkin diberikan oleh Qur-an sendiri dan oleh bahasa-bahasa pada waktu tersiarnya Qur-an, yaitu kata yaum
(jamaknya ayyam).
Arti yang paling terpakai daripada “yaum” adalah “hari,” tetapi kita harus bersikap lebih teliti. Yang dimaksudkan
adalah terangnya waktu siang dan bukan waktu antara terbenamnya matahari sampai terbenamnya lagi. Kata jamak
“ayyam” dapat berarti beberapa hari akan tetapi juga dapat berarti waktu yang tak terbatas, tetapi lama. Arti kata
“ayyam” sebagai periode juga tersebut di tempat lain dalam Qur-an, surat 32 (Sajdah) ayat 5:
“Dalam suatu hari yang panjangnya seribu tahun dari perhitungan kamu.”
Dalam ayat lain, surat 70 (Al-Ma’arij) ayat 4, kita dapatkan:
“Dalam suatu hari yang panjangnya lima puluh ributahun.”
Bahwa kata “‘yaum” dapat berarti “periode” yang sangatberbeda dengan “hari” telah menarik perhatian ahli-ahli
tafsir kuno yang tentu saja tidak mempunyai pengetahuan tentang tahap-tahap terjadinya alam seperti yang kita miliki
sekarang.
Maka Abussu’ud, ahli tafsir abad XVI M. tidak dapat menggambarkan hari yang ditetapkan oleh astronomi dalam
hubungannya dengan berputarnya bumi dan mengatakan bahwa untuk penciptaan alam diperlukan suatu pembagian waktu, bukan dalam “hari” yang biasa kita fahami, akan tetapi dalam “peristiwa-peristiwa” atau dalam bahasa Arabnya “naubat.”
Ahli-ahli Tafsir modern mempergunakan lagi interpretasi tersebut. Yusuf Ali (1934) dalam tafsirnya (bahasa Inggris),
selalu mengartikan “hari” dalam ayat-ayat tentang tahap-tahap penciptaan alam, sebagai periode yang panjang,
atau “age.”
Kita dapat mengakui bahwa untuk tahap-tahap penciptaan alam, Qur-an menunjukkan jarak waktu yang sangat panjang yang jumlahnya enam. Sains modern tidak memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir dengan terciptanya alam dapat dihitung “enam.” Tetapi Sains modern sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang sangat panjang, sehingga arti “hari” sebagai yang kita fahami sangat tidak sesuai.
Suatu paragraf yang sangat panjang dan membicarakan penciptaan alam merangkaikan riwayat tentang
kejadian-kejadian di bumi dengan kejadian-kejadian di langit; yaitu surat 41 (Fussilat) ayat 9 sampai 12 sebagai
berikut:
[Tulisan Arab]
Artinya: “Katakanlah Hai Muhammad, sesungguhnya patutkah kamu tidak percaya kepada zat yang menciptakan bumi dalam dua periode, dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya. Ia adalah Tuhan semesta alam. Dan Ia menciptakan di bumi itu gunungyang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-nya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi segala yang memerlukannya.
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan dia (langit itu masih merupakan) asap lalu Dia berkata kepadanya
dan kepada bumi ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab:
‘Kamidatang-dengan suka hati.’
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang danKami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah
ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Empat ayat dari Surat 41 tersebut menunjukkan beberapa aspek; bentuk gas yakni bentuk pertama daripada bahan samawi
serta pembatasan secara simbolis bilangan langit sampai tujuh. Kita akan melihat nanti apa arti angka tersebut. Percakapan antara Tuhan di satu pihak dan langit dan bumi di pihak lain adalah simbolis; maksudnya adalah untuk
menunjukkan bahwa setelah diciptakan Tuhan, langit-langit dan bumi menyerah kepada perintah-perintah Tuhan.
Ada orang-orang yang mengatakan bahwa paragraf tersebut bertentangan dengan ayat yang mengatakan bahwa penciptaan itu melalui enam periode. Dengan menjumlahkan dua periode yang merupakan penciptaan bumi dan empat periode untuk pembagian makanan bagi penduduknya dan dua periode untuk penciptaan langit, kita akan mendapatkan delapan periode, dan hal ini merupakan kontradiksi dengan enam periode tersebut di atas.
Sesungguhnya teks yang dimaksudkan untuk mengajak orang berfikir tentang kekuasaan Tuhan dengan memulai memikirkan bumi sehingga nanti dapat memikirkan langit, teks tersebut merupakan dua bagian yang dipisahkan dengan kata: “tsumma” yang berarti: di samping itu (selain daripada itu). Tetapi kata tersebut juga berarti: kemudian daripada itu. Maka kata tersebut dapat mengandung arti urut-urutan. Yakni urutan kejadian atau urutan dalam pemikiran manusia tentang kejadian yang dihadapi. Tetapi juga mungkin hanya berarti menyebutkan beberapa kejadian-kejadian tetapi tidak memerlukan arti: urut-urutan. Bagaimanapun juga, periode penciptaan langit dapat terjadi bersama dengan dua periode penciptaan bumi. Sebentar lagi kita akan membicarakan bagaimana Qur-an menyebutkan proses elementer penciptaan alam dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi pada waktu yang sama untuk langit dan bumi sesuai dengan konsep modern. Dengan begitu kita akan mengerti benar kebolehan menggambarkan simultanitas kejadian-kejadian yang disebutkan dalam fasal ini.
Jadi tak ada pertentangan antara paragraf yang kita bicarakan dengan konsep yang terdapat dalam teks-teks yang lain yang ada dalam Qur-an, yakni teks yang mengatakan bahwa penciptaan alam itu terjadi dalam enam periode
Ada orang yang mengatakan leahwa teks Qur-an tentangpenciptaan alam membagi tahap-tahap penciptaan itu dalam
“hari-hari” dengan sengaja dengan maksud agar semua orang menerima hal-hal yang dipercayai oleh orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristen pada permulaan lahirnya Islam dan agarsoal penciptaan tersebut tidak bentrok dengan keyakinan yang sangat tersiar luas.
Dengan tidak menolak cara interpretasi seperti tersebut, apakah kita tidak dapat menyelidiki lebih dekat dan menelitiarti yang mungkin diberikan oleh Qur-an sendiri dan oleh bahasa-bahasa pada waktu tersiarnya Qur-an, yaitu kata yaum
(jamaknya ayyam).
Arti yang paling terpakai daripada “yaum” adalah “hari,” tetapi kita harus bersikap lebih teliti. Yang dimaksudkan
adalah terangnya waktu siang dan bukan waktu antara terbenamnya matahari sampai terbenamnya lagi. Kata jamak
“ayyam” dapat berarti beberapa hari akan tetapi juga dapat berarti waktu yang tak terbatas, tetapi lama. Arti kata
“ayyam” sebagai periode juga tersebut di tempat lain dalam Qur-an, surat 32 (Sajdah) ayat 5:
“Dalam suatu hari yang panjangnya seribu tahun dari perhitungan kamu.”
Dalam ayat lain, surat 70 (Al-Ma’arij) ayat 4, kita dapatkan:
“Dalam suatu hari yang panjangnya lima puluh ributahun.”
Bahwa kata “‘yaum” dapat berarti “periode” yang sangatberbeda dengan “hari” telah menarik perhatian ahli-ahli
tafsir kuno yang tentu saja tidak mempunyai pengetahuan tentang tahap-tahap terjadinya alam seperti yang kita miliki
sekarang.
Maka Abussu’ud, ahli tafsir abad XVI M. tidak dapat menggambarkan hari yang ditetapkan oleh astronomi dalam
hubungannya dengan berputarnya bumi dan mengatakan bahwa untuk penciptaan alam diperlukan suatu pembagian waktu, bukan dalam “hari” yang biasa kita fahami, akan tetapi dalam “peristiwa-peristiwa” atau dalam bahasa Arabnya “naubat.”
Ahli-ahli Tafsir modern mempergunakan lagi interpretasi tersebut. Yusuf Ali (1934) dalam tafsirnya (bahasa Inggris),
selalu mengartikan “hari” dalam ayat-ayat tentang tahap-tahap penciptaan alam, sebagai periode yang panjang,
atau “age.”
Kita dapat mengakui bahwa untuk tahap-tahap penciptaan alam, Qur-an menunjukkan jarak waktu yang sangat panjang yang jumlahnya enam. Sains modern tidak memungkinkan manusia untuk mengatakan bahwa proses kompleks yang berakhir dengan terciptanya alam dapat dihitung “enam.” Tetapi Sains modern sudah menunjukkan secara formal bahwa persoalannya adalah beberapa periode yang sangat panjang, sehingga arti “hari” sebagai yang kita fahami sangat tidak sesuai.
Suatu paragraf yang sangat panjang dan membicarakan penciptaan alam merangkaikan riwayat tentang
kejadian-kejadian di bumi dengan kejadian-kejadian di langit; yaitu surat 41 (Fussilat) ayat 9 sampai 12 sebagai
berikut:
[Tulisan Arab]
Artinya: “Katakanlah Hai Muhammad, sesungguhnya patutkah kamu tidak percaya kepada zat yang menciptakan bumi dalam dua periode, dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya. Ia adalah Tuhan semesta alam. Dan Ia menciptakan di bumi itu gunungyang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-nya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi segala yang memerlukannya.
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan dia (langit itu masih merupakan) asap lalu Dia berkata kepadanya
dan kepada bumi ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab:
‘Kamidatang-dengan suka hati.’
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang danKami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah
ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Empat ayat dari Surat 41 tersebut menunjukkan beberapa aspek; bentuk gas yakni bentuk pertama daripada bahan samawi
serta pembatasan secara simbolis bilangan langit sampai tujuh. Kita akan melihat nanti apa arti angka tersebut. Percakapan antara Tuhan di satu pihak dan langit dan bumi di pihak lain adalah simbolis; maksudnya adalah untuk
menunjukkan bahwa setelah diciptakan Tuhan, langit-langit dan bumi menyerah kepada perintah-perintah Tuhan.
Ada orang-orang yang mengatakan bahwa paragraf tersebut bertentangan dengan ayat yang mengatakan bahwa penciptaan itu melalui enam periode. Dengan menjumlahkan dua periode yang merupakan penciptaan bumi dan empat periode untuk pembagian makanan bagi penduduknya dan dua periode untuk penciptaan langit, kita akan mendapatkan delapan periode, dan hal ini merupakan kontradiksi dengan enam periode tersebut di atas.
Sesungguhnya teks yang dimaksudkan untuk mengajak orang berfikir tentang kekuasaan Tuhan dengan memulai memikirkan bumi sehingga nanti dapat memikirkan langit, teks tersebut merupakan dua bagian yang dipisahkan dengan kata: “tsumma” yang berarti: di samping itu (selain daripada itu). Tetapi kata tersebut juga berarti: kemudian daripada itu. Maka kata tersebut dapat mengandung arti urut-urutan. Yakni urutan kejadian atau urutan dalam pemikiran manusia tentang kejadian yang dihadapi. Tetapi juga mungkin hanya berarti menyebutkan beberapa kejadian-kejadian tetapi tidak memerlukan arti: urut-urutan. Bagaimanapun juga, periode penciptaan langit dapat terjadi bersama dengan dua periode penciptaan bumi. Sebentar lagi kita akan membicarakan bagaimana Qur-an menyebutkan proses elementer penciptaan alam dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi pada waktu yang sama untuk langit dan bumi sesuai dengan konsep modern. Dengan begitu kita akan mengerti benar kebolehan menggambarkan simultanitas kejadian-kejadian yang disebutkan dalam fasal ini.
Jadi tak ada pertentangan antara paragraf yang kita bicarakan dengan konsep yang terdapat dalam teks-teks yang lain yang ada dalam Qur-an, yakni teks yang mengatakan bahwa penciptaan alam itu terjadi dalam enam periode
Komentar :
Posting Komentar